RSS

Jumat, 19 Juni 2009

Dunia Linguistik di tangan Kaum Kuffar

Oleh: Al-Faqir Yusuf Heru Romadhon

Sejarah telah membuktikan bahwa Islam pernah di masa kejayaannya dengan berhasil menduduki hampir 2/3 dunia. Umat Islam bahkan tidak hanya jaya melalui kekuasaan saja akan tetapi berhasil membuat gebrakan baru dengan lahirnya Ilmuwan-ilmuwan terkemuka yang hingga kini nama mereka pun masih dikenang. Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd di bidang kedokteran, Al Khawarizmi di bidang Matematika dan masih banyak lagi. Namun, hal tersebut telah berlalu. Umat Islam sekarang berdasarkan hasil data yang ada telah tertinggal jauh dalam segala aspek di bidang Ilmu Pengetahuan. Salah satu di antaranya adalah di bidang ilmu bahasa yakni Linguistik.
Dari negara-negara barat hingga sekarang banyak yang melahirkan tokoh linguistik akan tetapi sangat disayangkan karena tak satupun umat Islam mewakili untuk dijadikan rujukan mengenai teori-teorinya. Para ilmuwan tersebut banyak dikenal namanya melalui teori-teori mereka yang sensasional. Mereka adalah Ferdinand De Saussure, Nikolai Trubetzkoy, Roman Jacobson, Leonard Bloomfield, si penggagas teori tata bahasa generatif dari kaum Yahudi Avram Noam Chomsky dan masih banyak lagi.
Yang pertama adalah Ferdinand De Saussure seorang sarjana dari Swiss yang juga dikatakan sebagai bapak Linguistik modern. Selama seperempat abad pertama abad 20, linguistik banyak dipengaruhi oleh pemikiran dari De Saussure. Dia menemukan beberapa hal mengenai bahasa. Pertama, De Saussure mengatakan bahwa bahasa bisa diselidiki dengan menggunakan dua metode yaitu metode sinkronik (penyelidikan bahasa yang dikerjakan dalam kurun waktu tertentu) dan metode diakronik (penyelidikan dalam lintas sejarah dan perbandingan). Kedua, De Saussure juga mengungkapkan bahwa bahasa dibedakan atas dua hal yakni langue (bahasa sebagai sebuah sistem) dan parole (bahasa sebagai sebuah ujaran). Ketiga, dia mengungkapkan bahwa setiap langue dan bukan parole harus dapat diberikan secara sinkronik sebagai suatu sistem hubungan antar unsur (fonologis, leksikal dan gramatikal). Sehingga unsur-unsur tersebut tidak bisa berdiri sendiri (Yusuf, 1998: 61). Ferdinand De Saussure melalui pendekatan strukturalnya mengilhami sebuah madzhab Linguistik yakni strukturalisme. Akan tetapi Ferdinand De Saussure lebih dikenal dengan Pemrakarsa Strukturalisme Eropa.
Selanjutnya, terdapat dua orang sarjana bahasa dari Rusia yaitu Nikolai Trubetzkoy dan Roman Jacobson. Mereka disebut-sebut sebagai pemrakarsa berdirinya madzhab Fonologi Praha pada tahun 1926. Pemikiran dari De Saussure agaknya masih tampak pada gagasan-gagasan aliran Praha ini yang mengatakan bahwa bunyi ujar termasuk dalam tataran parole, sedangkan fonem terdapat pada tataran langue. Perhatian utama Aliran ini tercurah pada sistem bunyi bahasa sehingga perbedaan bunyi serta hubungan bunyi satu dengan lainnya menjadi topik pembicaraan yang berlarut (Yusuf, 1998: 62).
Terdapat juga madzhab dari Amerika Serikat yakni Strukturalisme Amerika. Aliran ini dikenal pula dengan aliran Bloomfield yang diambil dari tokoh utama pemrakarsa aliran ini, Leonard Bloomfield. Aliran ini banyak berpengaruh pada perkembangan linguistik dunia dan masih banyak dipraktekkan sampai sekarang, termasuk ahli bahasa di negara kita. Di Amerika Serikat sendiri, aliran ini hanya bisa bertahan hingga tahun 1957, yakni pada awal kemunculan aliran generatif. Apabila aliran Sturkturalisme Eropa yang lebih condong pada teori, maka aliran Sturkturalisme Amerika lebih condong pada berbagai penyelidikan pada bahasa-bahasa yang belum dijamah (pada waktu itu bahasa Indian). Sehingga pada jamannya aliran ini banyak dipengaruhi oleh ahli-ahli kebudayaan, etnisitas dan penjelajah serta para peminat kajian Amerindian (Indian-Amerika).
Satu tokoh yang cukup menggemparkan dunia linguistik adalah Avram Noam Chomsky. Dia adalah seorang professor linguistik dari Massachusetts Institute of Technology. Dia lahir di tengah-tengah masyarakat Yahudi Amerika. Ayahnya DR. William Zev Chomsky merupakan seorang pakar di bidang tata bahasa Ibrani. Pada usia 12 tahun Chomsky membaca salah satu karya berat ayahnya yakni tata bahasa Ibrani abad 13. Dari sinilah bakat ayahnya di bidang bahasa menurun pada diri Chomsky.
Chomsky juga salah satu penulis di bidang linguistik yang paling produktif. Chomsky menggemparkan dunia dengan teori tata bahasa generatifnya (Transformational-Generative-Grammar). Pemikirannya mengenai bahasa terdapat beberapa hal. Pertama, setiap penutur bahasa yang normal memiliki kemampuan untuk menghasilkan bahasa. Dengan kemampuannya itu, dia dapat membentuk kalimat-kalimat baru dan memahami kalimat-kalimat yang belum pernah didengarnya. Kemampuan ini berbeda dari pelaksanaannya. Kedua, Chomsky menjelaskan bahwa tata bahasa adalah seperangkat kalimat. Setiap kalimat terdiri dari unsur dasar dan mempunyai struktur tertentu. Tiap kalimat dapat diwujudkan berkali-kali, secara teoritis tanpa batas. Ketiga dia menjelaskan bahwa bahasa terdiri dari struktur lahiriah/luar dan struktur batiniah/dalam. Struktur batiniah dan lahiriah tidak selalu tercermin pada struktur lahiriahnya. Terakhir yang sering dijadikan acuan bagi para mahasiswa bahasa beliau menjelaskan bahwa tata kalimat terdiri dari beberapa komponen yaitu (a) Dasar (base) yang mengandung dua komponen yaitu seperangkat kategori seperti S, NP, VP dan seterusnya dan komponen leksikal (b) komponen Transformasi yang mengatur pengubahan suatu struktur menjadi struktur yang lain (c) komponen semantik yang menentukan makna struktur batiniah kalimat. Melalui teorinya tersebut mengilhami sebuah aliran linguistik yang disebut dengan aliran generatif (Zainuddin, 1985: 165-166).
Itulah mereka tokoh-tokoh linguistik yang sebenarnya masih bisa ditemukan (karena keterbatasan referensi dan waktu dari penulis maka penulis hanya memaparkan beberapa). Masing-masing dari mereka mempunyai argumen tentang permasalahan bahasa. Sehingga mereka cukup berperan besar melahirkan beberapa teori tentang bahasa. Dunia linguistik baik itu berupa kajian tentang fonologi, morfologi, semantik dan kajian-kajian lainnya selalu dipenuhi dengan aksi-aksi dari kaum Nasrani dan Yahudi.
Bagaimana dengan umat Islam. Apakah saat ini kaum Muslimin lagi tertidur dari dunia Ilmu pengetahuan khususnya di bidang bahasa. Apa yang terjadi dengan umat Islam. Padahal Islam menjunjung tinggi yang namanya Ilmu pengetahuan sebagaimana yang termaktub di dalam surat Al Mujadilah ayat 11 yang artinya, hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Ayat ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan sangat diagungkan oleh Allah. Sehingga orang yang memiliki ilmu pengetahuan memiliki derajat yang mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Ilmu bahasa pun dikatakan bagian dari ilmu pengetahuan. Hal ini berdasarkan sebuah teori yang menyatakan bahwa bahasa mengalami tiga tahapan perkembangan. Yang pertama adalah tahapan spekulasi. Dikatakan tahap spekulasi karena pada tahap ini para ahli bahasa menduga-duga berasala dari bahasa apakah semua bahasa yang ada di dunia ini. Yang kedua adalah tahapan pengamatan pengklasifikasian. Pada tahapan ini para ahli bahasa bekerja untuk mengamati gejala-gejala bahasa, mengumpulkan data faktual secara sistematik dan mengklasifikasikannya sesuai dengan sifat bahasa yang dihadapinya. Para ahli bahasa tersebut mengamati dan mengklasifikan data yang mereka dapat tanpa adanya spekulasi ataupun prasangka. Mereka bekerja seobjektif mungkin dari apa yang mereka dapat. Yang terakhir adalah tahapan perumusan hipotesis. Pada tahapan ini para ahli bahasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan masalah-masalah tertentu. Kemudian hipotesis dirumuskan. Hipotesis tersebut dirumuskan. Hipotesis tersebut diuji berdasarkan data yang didapat. Kalau hipotesis tersebut sesuai dengan data yang didapat maka timbullah teori (Zainuddin, 1985: 22-24). Dari sini dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan ilmu pengetahuan.
Salah satu tokoh Islam yang terkemuka DR. Yusuf Qardhawi mengatakan di dalam suatu karya yang berjudul Sunnah dan Bid’ah bahwa umat Islam dimatikan daya kreasi mereka dalam hal dunia dikarenakan mereka terlalu membuat hal-hal baru yang berhubungan dengan syariat. Beliau menambahkan pula “Pada dasarnya, manusia harus mengembangkan kreativitasnya dalam bidang keduniaan, namun karena manusia telah mencurahkan seluruh kreativitasnya dalam urusan-urusan agama maka ia tidak lagi dapat berkreasi dalam urusan-urusan duniawi”. Umat Islam di generasi pertama banyak menghasilkan kreativitas dan mempelopori banyak hal yang belum dilakukan sebelumnya. Sehingga umat Islam membangun peradaban yang tangguh yang bisa menyatukan antara ilmu pengetahuan dengan keimanan, antara agama dengan dunia. Maka tidak heran pada saat itu umat Islam selalu dijadikan rujukan dalam segala hal mengenai ilmu pengetahuan.
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa apabila umat Islam memegang teguh agama mereka maka umat Islam dapat berkuasa dalam segala hal sebagaimana yang tercantum di dalam surat An Nuur ayat 55 yang artinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Oleh karena itu cukuplah umat Islam menuangkan kreativitas mereka dalam membuat hal baru di dalam keduniaan (terutama di bidang Linguistik) bukan dengan membuat hal baru di dalam agama. Hal ini dikarenakan sesungguhnya hal yang baru di dalam agama bisa menyesatkan umat Islam sebagaimana yang tercantum di dalam Hadits Shahih serta Masyhur yakni “Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka” (HR. Muslim).
Melalui tulisan penulis berharap agar umat Islam selalu istiqomah memperjuangkan Islam di segala hal, baik melalui ilmu pengetahuan (khususnya bahasa) ataupun yang lainnya yang tidak menyimpang dari jalan Allah dan Rasulullullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. Semoga Islam semakin jaya di segala aspek kehidupan dan menjadi satu-satunya jalan bagi umat manusia untuk menempuh kebahagiaan yang hakiki. Amiin.

Referensi:
Al Mujadilah: 11
An Nuur: 55
Anonimous. Biografi Noam Chomsky. Diambil dari: www.wikipedia.org.
HR. Muslim
Qardhawi, Yusuf. Artikel Sunnah dan Bid’ah.
Yusuf, Suhendra. 1987. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Zainuddin. 1985. Pengetahuan Kebahasaan (Pengantar Linguistik Umum). Surabaya: Usaha Nasional

Jumat, 29 Mei 2009

Fenomena Masyarakat Islam Indonesia dan Solusi Pemecahannya

Oleh: Al-Faqir Yusuf Heru Romadhon

Islam di negara Indonesia merupakan salah satu agama yang terbesar pemeluknya. Masyarakatnya yang beraneka ragam mulai dari Sabang hingga Merauke saling menjunjung kesatuan tanpa memperhatikan suku dan adat mereka. Di dalam Islam juga demikian yang di dalam menjalin hubungan satu dengan lainnya tidak memperhatikan yang namanya suku dan adat sebagaimana termaktub di dalam surat Al Hujurat ayat 13 yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Ayat ini dengan jelas menjelaskan pada kita Islam tidak mendiskriminasikan keberadaan ataupun status seseorang kecuali orang bertakwa yang sangat tinggi derajatnya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Berdasarkan fakta yang ada hampir 85 persen masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. Sehingga hal ini menjadi sebuah tolak ukur bagi kita bahwa Islam merupakan agama yang terbesar di negara tercinta kita ini. Dari jumlah yang ada terdapat sebuah kasus yang menyatakan “apakah penduduknya benar-benar menjalankan Islam berdasarkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya”.
Sebagai seorang muslim ada kalanya kita tidak hanya menerima segala sesuatu yang berhubungan dengan agama ini dengan tanpa mempertimbangkan apakah yang akan dijalankan tersebut bersumber atau tidak. Hal ini dikarenakan di dalam Islam semuanya sudah di atur di dalam aturan Allah dan rasulnya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam Sehingga apabila kita menemui permasalahan di dalam agama hendaknya kita kembalikan kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasulnya (Hadits) sebagaimana di salah satu ayat di Al Qur’an yakni: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. 4:59).
Beberapa hal baru yang tidak dicontohkan oleh Islam di antaranya adalah peringatan kematian seseorang satu sampai seribu harinya, peringatan selamatan dan peringatan lainnya yang biasa diadakan oleh masyarakat Indonesia yang tidak ada asal usulnya dari agama Islam. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim disebutkan “ dari Ummul Mukminin, Ummul Abdillah Aisyah Radhiyallaahu 'Anha berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “ barangsiapa membuat – buat dalam urusan (agama) kami ini amalan yang bukan bagian darinya, ia tertolak“(diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim disebutkan, “ barangsiapa mengerjakan suatu amal yang bukan berdasar pada perintah kami, ia tertolak”. Dari sini jika kita mau berpikir kita pasti menyadari bahwa segala amal ibadah yang tidak sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya berdasarkan hadits di atas maka tertolak.
Cobalah kita tengok salah satu potongan ayat di Al Qur’an yang sangat masyhur yang sering kita dengar namun apabila kita merenungi kita akan menemukan kata kunci yang sangat mencengangkan kita. Ayat itu adalah surat Al Maidah ayat 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridloi Islam itu jadi agama bagimu” (Q.S. 5:3). Ayat ini telah menjelaskan kepada kita bahwa Islam tidak membutuhkan pengurangan maupun penambahan. Imam Ibnu katsir menjelaskan “Ini adalah nikmat Allah terbesar yang diberikan kepada umat ini. Karena Allah telah menyempurnakan agama mereka untuk mereka. Sehingga tidak perlu kepada agama lain dan tidak perlu kepada Nabi lain. Karena itu Allah menjadikannya sebagai penutup para Nabi yang diutus kepada manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal kecuali apa yang telah dihalalkannya dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah diharamkannya dan tidak ada agama kecuali apa yang telah disyariatkannya” (Tafsir Ibnu Katsir 2/19).
Penjelasan dari salah satu Imam Besar Ahlussunnah Wal Jama’ah telah menjelaskan bahwa memang benar jika kita ingin menjalankan Islam yang diridloi oleh Allah kita harus mengikuti syariat tanpa terkecuali. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman di dalam surat Al Baqarah ayat 208 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. Ayat ini secara tegas menekankan bahwa jika kita memproklamirkan sebagai orang-orang yang beriman Allah mengharuskan kita agar kita menjalankan syariat ini secara menyeluruh dan tidak sebagian/parsial.
Jika kita melihat kembali ke sebuah sejarah sebelum Rasulullah diturunkan di kalangan kaum quraisy, kita akan menyadari bahwasannya orang Arab dahulu sungguh mengalami sebuah kejahilan yang parah. Mereka kaum quraisy mengadakan sebuah ritual yang menjurus ke sebuah kesyirikan. Penyembahan terhadap patung – patung seperti Lata, Mana, Uzza, menjadi sebuah tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat kaum quraisy. Membunuh bayi perempuan yang lahir adalah sebuah dilema yang sangat kejam jika kita kita memandang dari kacamata kemanusiaan.
Dengan kedatangan Rasulullah di tengah – tengah kaum quraisy tradisi semula kaum quraisy lambat laun menjadi berubah setelah peritiwa fathul makkah. Sungguh perubahan yang sangat signifikan yang telah Rasulullah ajarkan di dalam mendakwahkan agama yang mulia ini. Semula tradisi penyembahan patung yang menjadi sebuah kebiaasan kaum quraisy telah sirna setelah peristiwa fathul makkah.
Bagaimana dengan masyarakat kita saat ini, mungkin agaknya mirip dengan kebiasaan kaum quraisy. Hal ini bisa dilihat seperti datang ke kuburan orang soleh untuk meminta perantara agar tercapai hajat yang disampaikan. Sekarang kita berpikir logis mengenai masalah ini apakah orang mati bisa membantu kita. Pasti orang yang berpikiran intelektual mengatakan tidak mungkin orang yang mati berbuat demikian. Sesungguhnya jika kita membaca salah satu hadits rasulullah yang berbunyi “ akan putus segala amal anak cucu adam kecuali tiga perkara yaitu shodaqoh jariyahnya ketika dia masih hidup, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak sholeh yang selalu mendoakannya “ (H.R. Muslim).
Dari hadits di atas kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang mati tidak bisa melakukan apa – apa. Yang membantu dia adalah tiga perkara yang telah disebutkan di atas. Lalu, lantas apa yang bisa orang mati sampaikan. Orang mati tersebut sebenarnya membutuhkan doa dari kita bukan kita yang butuh pertolongan kepada mereka untuk menyampaikan hajat kita.
Permasalahan dari perilaku masyarakat kita saat ini adalah kebiaasaan mereka yang mengikuti kebanyakan masyarakat yang ada di masyarakat tersebut. Adat istiadat, cara beragama dan lain sebagainya yang meniru kebiasaan masyarakat. Suatu contoh kita ambil perumpamaan, apabila kita lahir di suatu kampung yang masyarakatnya rata – rata orang NU suatu saat ketika kita dewasa nanti tidak menutup kemungkinan mengikuti adat kebiasaan mereka. Seandainya kita berada di suatu kampung yang mayoritas penduduknya orang Muhammadiyah kita pasti suatu saat menjadi orang yang di anggap pengikutnya orang – orang Muhammadiyah. Begitu pula jika berada di lingkungan yang penduduknya LDII, aliran Tarikat ataupun sekte-sekte lainnya seperti Syiah, Mu’tazilah, Jahmiyah dan masih banyak lagi.
Di dalam Islam tidak demikian cara menganut agama. Seseorang harus bersifat kritis di dalam beragama islam. Adakalanya memang benar jika kita berada di suatu masyarakat seperti di atas lambat laun kita akan mengikuti mereka jika kita bergaul dan mengikuti cara beragama mereka. Rasulullah pernah menjelaskan yang kesimpulannya ”apabila kita dekat dengan tukang minyak wangi, kita akan ikut kena wanginya, namun apabila kita dekat dengan tukang pandai besi, kita akan kena arangnya“ (Al Hadits).
Menyikapi permasalahan ini apakah seperti ini sebagai seorang muslim yang segalanya sudah diatur oleh syariat cara beragamanya meniru keadaan sekitar ataupun kebanyakan orang. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman di dalam surat Al An’aam ayat 116 yang artinya “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Ayat ini dengan sangat tegas menyatakan bahwa Allah melarang kita untuk menuruti/mengikuti cara pandang ataupun pemahaman orang-orang banyak di sekitar karena mereka tidak menjamin kita bisa selamat dari jalan Allah.
Islam adalah agama yang mudah, apabila ada permasalahan selalu ada solusinya. Di dalam Al Qur’an apabila ada masalah di suatu ayat, masalah tersebut dijawab dan dijelaskan jalan keluarnya oleh ayat lain. Surat Al An’aam sebagaimana dijelaskan di pernyataan di atas menjelaskan bahwa janganlah umat Islam mengikuti kebanyakan orang. Pernyataan ini kemudian dijelaskan di ayat lain yang menyatakan “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. 3:31). Ayat ini menjelaskan bahwa jika umat Islam benar-benar cinta kepada Allah maka harus mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam karena apa yang disampaikan darinya bukanlah hawa nafsu akan tetapi penerang yang menyelamatkan umat manusia dari jalan yang gelap menuju ke jalan yang terang sebagaimana yang dikatakan oleh Allah di surat An Najm ayat 3 “dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”. Namun bagaimana kita mengikuti bagaimana Rasulullah beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Sekarang coba kita introspeksi pada diri kita, apakah agama dan cara beribadah kita sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya. Solusi dari permasalahan ini adalah hendaknya kita kembali ke pemahaman para salafush sholih (para pendahulu kita yang sholih) seperti para sahabat, tabi’in (pengikut sahabat), tabiut tabi’in (pengikut tabi’in). Mengapa kita seharusnya kembali ke pemahaman mereka. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang berbunyi “ sebaik – baik manusia adalah generasiku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka “(H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Mereka para salafush sholih lebih tahu masalah urusan – urusan agama karena mereka yang salah satunya adalah sahabat menyaksikan langsung turunnya wahyu. Mereka hidup di kala rasulullah masih ada. Jika mereka menjumpai sesuatu yang rumit di dalam masalah agama mereka akan menemui dan bertanya kepada Rasulullah.
Dari pernyataan-pernyataan di atas bisa disimpulakan bahwa Masyarakat Indonesia khususnya umat Islam hendaknya mengikuti cara beragama sebagaimana yang termaktub di dalam Al Qur’an maupun Al Hadist. Namun tidak cukup terpaut pada dua hal di atas karena Rasulullah menjelaskan di dalam salah satu Hadist yang menyatakan “Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus. Gigitlah ia dengan gerahammu. Jauhilah hal-hal baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan lagi shahih.”).
Dari hadits ini dapat disimpulkan pula bahwa pemahaman yang shahih/valid tentang Islam adalah pemahaman para Sahabat. Allah telah meridloi mereka sebagaimana yang tercantum di dalam salah satu ayat “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (Q.S. 9:100). Di dalam ayat ini Allah memuji para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan adanya kewajiban untuk mengikuti mereka sehingga keridloan Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan mengikuti mereka. (Wallahu A’lam)




Referensi:
Al Qur’anul Kariim
Tafsir Ibnu Katsir
Arba’in Nawawi
Shahih Bukhari
Shahih Muslim

Selasa, 10 Februari 2009

Artikel Tokoh Islam :

IBNU TAIMIYAH (Tanpa Jabatan, Tanpa Harta, Mrski Telah Tiada, Peninggalannya Masih Hidup Sepanjang Masa)
Kamis, 30 Oktober 08

Adakah orang yang begitu gandrung dengan pengetahuan, cenderung kepada ilmu dan suka memperdalamnya tidak mengenal tokoh bernama Ibn Taimiah? Sesungguhnya langkah, ketinggian dan kemuliaan kedudukan Ibn Taimiah telah mencapai suatu derajat di mana ia tidak memerlukan lagi gelar ‘syaikh (tuan guru),’ ‘Alim,’ ‘Imam,’ dan ‘Mujaddid.’ Justeru namanya yang paling bagus hanyalah Ibn Taimiah.!!

Sebagian negeri hidup selama 5 abad, kemudian pudar dan hilang tanpa bekas dan tanda. Sebaliknya, si genius nan mengagumkan ini justeru tetap eksis dan abadi dalam ‘memori’ zaman dan ‘hati’ masa. Kisah unik yang tersimpan untuk para generasi, dilantunkan secara berulang oleh lisan dan didesiskan oleh bibir.

Para sultan, menteri, orang kaya dan penyair hidup, kemudian mati lalu mati pula peninggalan-peninggalannya. Sementara Ibn Taimyiah Hidup tanpa imarah (kekuasaan), Wizarah (jabatan menteri) dan Tijarah (bisnis) namun ia tetap eksis bersama kita dan para generasi setelah kita, hidup dalam nurani, kukuh dalam jiwa, hadir dalam pengajian-pengajian, klub-klub ilmiah, lembaga-lembaga ma’rifah dan panggung kebudayaan.

Ibn Taimiah memiliki untaian-untaian kata yang dapat memukau banyak akal manusia. Ia memiliki ungkapan-ungkapan yang menawan dan mengesankan, di mana dapat diketahui bahwa ia milik Ibn Taimiah melalui analisis mendalam. Siapa saja yang mengarungi buku-bukunya, membaca risalah-risalahnya dan menyelami ilmunya, maka pasti akan dapat merekam istilah-istilah, kalimat-kalimat dan kata-kata seakan-akan ia merupakan perumpamaan-perumpamaan yang dibuat para penyair, atau sebagai Syawahid (dalil penguat) oleh para ahli balaghah. Di antara untaian-untaian kata itu adalah:

1. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan maksiat melarang hati mengembara di ‘lapangan luas’ tauhid.

2. Tidak ada seorang pun di dunia ini selalu bersama kebenaran di mana pun ia berada kecuali Muhammad saw.

3. Antara orang fakir dan kaya; yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling bertakwa di sisi Allah swt.

4. Setiap hati yang tidak berpetunjuk dengan petunjuk agama ini, maka ia adalah hati yang dimurkai.

5. Andaikata para penguasa dan pemilik harta mengetahui kenikmatan yang kita rasakan (yakni kenikmatan taat kepada Allah dan ibadah), maka pastilah mereka akan memerangi kita dengan pedang.

6. Sesungguhnya Allah akan menolong negeri kafir yang adil dan mengalahkan negeri Muslim yang zhalim.

7. Tahanan adalah orang yang menahan hatinya dari Rabbnya dan tawanan adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya.

8. Kebebasan adalah kebebasan hati, dan peribadahan (penghambaan) adalah penghambaan hati.

9. Seseorang tidak dikatakan hamba hingga ia merdeka (bebas) dari apa yang selain Allah swt.

10. Sesungguhnya di dunia terdapat surga, yang barangsiapa tidak memasukinya, ia tidak akan masuk surga akhirat.

11. Apa yang telah diperbuat oleh musuh-musuhku? Aku adalah surgaku dan kebunku ada di dalam dadaku; ke mana saja aku pergi, ia bersamaku, tidak berpisah denganku. Penahanan terhadapku adalah khalwat (penyendirian), pembunuhan terhadapku adalah syahadah (mati syahid), dan pengusiran terhadapku dari negeriku adalah pelesiran (piknik).

12. Sesungguhnya keadilan itu adalah wajib bagi setiap orang atas setiap orang, dalam kondisi apa pun, sedangkan kezhaliman adalah diharamkan secara mutlak, tidak dibolehkan sama sekali, dalam kondisi apa pun.

13. Sesungguhnya si zhalim berbuat zhalim, lantas manusia diuji dengan suatu fitnah yang dapat menimpa orang yang tidak berbuat zhalim, sehingga ketika itu ia tak berdaya untuk menolaknya. Berbeda dengan bila si zhalim telah dicegah dari permulaan, maka akan hilang pula sebab timbulnya fitnah itu.

14. Dengan kesabaran dan keyakinan akan diraih kepemimpinan dalam agama berdasarkan firman Allah swt, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah:24)

15. Pondasi agama adalah kitab yang memberi petunjuk dan pedang penolong. Dan cukuplah Rabbmu sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong.!

16. Jihad adalah setiap perbuatan yang menggiring kepada kebaikan, sedangkan perang merupakan salah satu dari elemen jihad.

17. Sesungguhnya perasaanku berhenti pada suatu masalah, lalu aku memohon ampun kepada Allah seribu kali, kurang atau lebih, baik itu di masjid, sekolah atau di pasar hingga terbuka apa yang sebelumnya tertutup atasku.

18. Sebagian manusia ada orang yang bila mencintai seseorang, ia mengesampingkan seluruh kesalahan-kesalahannya. Dan ada pula manusia, yang bila membenci seseorang, maka ia mengesampingkan seluruh kebaikan-kebaikannya.

(SUMBER: artikel berjudul, Ibn Taimiah al-Mulham, ‘Asya Bila Imarah, Wa La Wizarah, Wa La Tijarah) AHS
Artikel Hadits :

Perintah Mentaati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam Dan Larangan Menyelisihinya
Rabu, 04 Februari 09


عن أبي هريرة رضي الله عنه قا ل سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ما نهيتكم عنه , فاجتنبوه , وما أمرتكم به فأ توا منه ما ا ستطعتم, فإ نما أهلك
الذين من قبلكم كثرة مسا ئلهم و اختلا فهم علي أنبياءهم . رواه البخا ري و مسلم


Artinya: Dari Abi Hurairah ra dia berkata:Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ” Apa-apa yang aku larang dari padanya, maka jauhilah dan apa-apa yang aku perintahkan dengannya maka kerjakanlah sekemampuan kalian, maka sesungguhnya yang mencelakakn kaum sebelum kalian hanyalah banyak bertanya dan penelisihan mereka terhadap para Nabi-nabinya (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Takhrij hadits:

Haditt ini diriwayatkan al-Bukhari no.7288 dan Muslim no.1337 hal.1831, serta Ahmad 2/258,328,517 dan an-Nasai 5/110-111 dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban (18)-(21) (lihat Jamiu’ulum walhikam dengan tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bajis hal 238, terbitan:Muasasah ar-risalah cet.3 tahun 1412 H-1991 M.)

Syarh Hadits:

Berkata Ibnu Rajab al-Hanbali,” hadits dengan lafazh seperti ini dekeluarkan oleh Muslim dari riwayat az-Zuhri dari Sa’id Bin musayyab dan Abi Salamah keduanya Dari Abi Hurairah, dan keduanya mengeluarkan Haditt ini dari Riwayat Abi az-Zinad dari al-A’raj dari Abi Hurairah dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa salam beliau bersabda,”

دعو ني ما تركتكم , إنما أهلك الذين من كا ن قبلكم سؤ الهم و اختلا فهم على أنبياءهم , فإ ذا نهيتكم عن شيئ ,
فا جتنبوه, فإ ذا أمرتكم بأمر فأتوامنه ما استطعتم


“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kapada kalian, sesungguhnya yang mencelakan orang-orang sebelum kalian hanyalah (banyak) bertanya dan penyelisihan mereka terhadap para Nabinya.” Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dari dua jalur yang lain dari Abu Hurairah dengan Maknanya.

Dan dalam riwayat yang lain masih darinya, disebutkan sebab hadits ini, dari riwayat Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah dia berkata,” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah berkhutbah kepada kami kemudian beliau bersabda, :

يأيها الناس قد فرض الله عليكم الحج فحجوا فقال رجل أ كل عام يا رسول الله؟فسكت حتى قالها ثلاثا , فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو قلت نعم,لوجبت,لما استطعثم ثم قال : ذروني ما تركتم,فإ نما أهلك من كان قبلكم بسؤالهم واختلافهم على أنبياءهم,فإذا أمرتكم بشيء, فأتوا منه ما اسطعتم, وإذا نهيتكم عن شيء ,فدعوه

“Wahai sekalian manusia sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian maka berhajilah kalian, kemudaian seorang laki-laki bertanya, “Apakah tiap tahun wahai Rasulullah ? kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam diam sampai orang tersebut mengucapkan tiga kali, terus Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Jika seandainya aku katakan ya! Tentu akan wajib, dan kalian tidak akan sanggup kemudian beliau bersabda, ”Biarkan apa yang aku tinggalkan kepada kalian, maka sesungguhnaya umat sebelum kalian dicelakakan hanyalah karena banyak bertanya dan menyelisihi para Nabinya, maka apabila aku memerintah kan kepada kelian sesuatu kerjakanlah semampunya dan apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinnggalkanlah (HR.Muslim no. 1337)

Dan hadits ini di keluarkan ad-Daruqutni dari jalur lain secara ringkas maka di dalamnya ada lafazh:

فنزل قوله تعالى :يأيها الذين ءا منوا لا تسألواعن أشياء إن تبد لكم تسؤكم...

Artinya:
Kemudian turunlah ayat Yang artintnya, “ wahai orang-orang beriman, janganlah kamu menayakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkan kamu..”(QS.al-Maidah:101).

Berkata Ibnu Rajab, ” maka hadits-hadits ini menunjukan atas larangan bertanya tentang hal-hal yang tidak penting yang jawabannya akan menyusahkan penanya seperti pertanyaan orang apakah dia di neraka atau di surga?, dan hadist-hadist ini menunjukan atas larangan pertanyaan yang sipatnya ta’annut (ingin menyulitkan dan menginkari) dan yang sipatnya sia-sia serta mengejek sebagai mana yang biasa dilakukan kebanyakan orang-orang Munafiq dan selainya .

Dan yang lebih dekat dari hal itu bertanya tentang ayat-ayat dan memberikan kritikan yang sifatnya ingin menginkari, sebagaimana pertanya yang di lontarka orang-orang musyrik dan ahli kitab, dan telah berkata ‘Ikrimah dan selainya sesunnguhnya ayat ini turun berkaitan dengan hal tersebut.

Dan yang lebih dekat lagi dari tersebut pertanyaan tentang hal-hal yang Allah sembunyikan yang allah tidak menampaknya kepada siapapun seperti tentang kapan terjadinya kiamat dan tentang ruh.

Hadits-hadits ini menunjukan atas larang bagi kaum muslimin untuk banyak bertanya dalam banyak perkara halal atau haram dimana soal ini akan menyebabkan turunnya kesulitan di dalamnya seperti pertanya an apakah haji diwajibkan tiap tahun?(hal ini apabila wahyu masih turun dan turunya wahyu telah telah terhenti-red).

Nabi shalallahu ‘alihi wa salam tidak memberikan keringanan dalam maslah larangan bayak bertanya kecuali kepada orang-orang ‘Arab baduy dan yang semisalnya dari para utusan-utusan yang datang kepadanya untuk mengikat hati mereka adapapun kaum muhajirin dan anshar yang mereka tinggal di madinah, yg keimanannya sudah tertancap dalam dalam hati-hati mereka maka mereka di larang dari banyak pertanyaan sebagaimana dalam Shahih Muslim dari an-Nawas bin sam’an dia berkata, “saya tinggal bersama Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam di Madinah tidak ada yang menghalangiku dari hijrah kecuali pertanyan, pada waktu itu salah seoang dari kami apabila hijrah tidak bertanya kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa salam.

Dan masih di dalam riwayat Muslim dari Anas dia berkata, “kami dilarang untuk bertanya tentang sesuatu kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam, maka ketika itu kami berharap seseorang yang berakal dari baduy datang, kemudian bertanya kepada Beliau sedangkan kami akan mendengarkanya.

Sungguh para sahabat kadang-kadang dahulu bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tentang hukum perkara-perkara sebelum terjadinya akan tetapi mereka bertujuan dengan hal tersebut untuk mengamalkannya tatkala terjadinya, sebagai mana yang mereka tanyakan kepadanya, “Sesungguhnya besok kami akan bertemu dengan musuh dan kami tidak menpunyai pisau, apakah kami boleh menyembelih dengan bambu?,dan Hudzaifah pernah bertanya tentang fitnah dan apa yang harus dilakukan ketika terjadinya.

Maka hadits ini yaitu sabdanya, ” biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian ......, menunjukan dibencinya banyak pertanyaan dan tercelanya, akan tetapi sebagian manusia menyangka larangan tersebut Khusus pada zaman Nabi SAW karena pada waktu itu khawatir diaharamkannya sesuatu yang beluk diharamkan atau diwajibkannya sesuatu yang bisa memberatkan dan setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa salam kekhawatiran itu hilang.

Akan tetapi di bencinya banyak pertanyaan bukan hanya itu sebabnya, bahkan ada sebab lain, yaitu sebagaimana yang di isyaratkan Ibnu ‘Abbas..dengan perkatakaanya:”Tunggulah!!, apabila al Qur’an turun, maka sesungguhnya tidaklah kalian bertanya tentang sesuatu kecuali kalian akan mendapatkan penjelasanya.. .maka ketika itu tidak perlu bertanya tentang sesuatu, apalagi sebelum terjadinya dan diperlukan, hanya saja yang sangat di perlukan adalah memehami apa yang di kabarkan Allah dan RasulNya, kemudian mengikuti dan mengamalkannya, kadang-kadang Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, ditanya dengan beberapa pertanyaan kemudian beliau mengarahkannya kepada al-Qur’an sebagai mana Umar bertanya kepadanya tentang kalalah*, kemudian beliau menjawab, “Cukuplah bagimu Ayat Shaif .
Hadits ini juga menunjukan bahwa menyibukan diri dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangannya akan menyibukan kita dari pertanyaan.

Ibnu Utsaimin berkata:” Maka pada Zaman Nabi shallahu ‘alaihi wa salam tidak layak bertanya tentang sesuatu yang didiamkan oleh karena itu dia bersabda, “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian.... adapun pada Zaman kita setelah Wahyu terputus dengan wafatnya Nabi SAW maka bertanyalah, bertanyalah tentang segala sesuatu yang diperlukan, karena sekarang perkara agama sudah tetap tidak ada penambahan maupun pengurangan.., bahkan wajib bagi setiap manusia untuk memahami ilmu agama Allah Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa siapa yng dikehendaki kebaikan oleh Allah maka dia akan dipahamkan dalama agama.”(HR.al-Bukhari dalam kitabul ‘ilmi dan Muslim dari Mu’awiyah)

Kemudian beliau Shalallahu’alaiahi wa salam bersabda, “dan apabila aku melarang dari sesuatu maka jauhilah,!!dan apa bila aku memerintahkan dengan suatu perintah maka lakukanlah sekemampuanmu.” Maka Beliau memberikan keumuman didalam masalah larangan dan memberikan kekhususan dalam perintah (maksudnya dalam masalah larangan tidak memakai kata tinggalkanlah semampumu, akan teapi tinggalkanlah, maka ini yang dimaksud umum-red).

Adapun dalam masalah larangan beliau besabada, “dan apa-apa yang aku larang maka tinggalkanlah’ , yakni apapun yang dilarang oleh Rasulullah ‘alaihis-shalatu was-salam terhadap kita maka kita harus menjauhinya, yang demikian itu karena suatu yang dilarangan adalah sifatnya ditinggalkan, maka larangan adalah perintah untuk meninggalkan, dan meninggalkan sesuatu itu bukan suatu yang sulit, setiap manusia mampu untuk meninggalkan sesuatu dan tidak ada kesulitan serta madharat baginya, hanya saja hal ini muqayad( terikat) dengan darurat, apabila seseorang terpaksa karena darurat untuk memakan suatu yang haram dan ketika itu tidak ada makanan selain itu dan dengan hal tersebut daruratnya bisa hilang maka hal tersebut menjadi boleh -sebagai mana yang telah dimaklumi-red, maka apabila terdapat suatu darurat untuk memakan suatu yang haram yang menyebabkan hal yang haram tersebut menjadi halal karena darurat, maka hal ini bisa dilakukan apabila memenuhi dua syarat: pertama: adalah tidak ada yang bisa meng hilangkan darurat tersebut kecuali hal itu, kedua: hal tersebut hendaknya bisa menghilangkan darurat tersebut.

Maka dengan dua syarat tadi bisa kita ketahui bahwa tidak ada darurat terhadap obat yang diharamkan, yakni jika ada obat akan tetapi haram maka hal tersebut tidak boleh..., karena: Pertama, bisa jadi penyakit tersebut sembuh dengan sebab yang lain yang bukan haram, bisa kesembuhan langsung dari Allah, atau dengan doa atau dengan ruqiyah dan obat yang lain. Kedua, dia tidak ditas keyakinan apabila berobat dengan obat tersebut akan sembuh.

Syaihk Salim bin ‘id al Hilaly berkata: (Dalam hadist ini terdapat) perintah untuk untuk meninggalkan pertanyaan tentang sesuatu yang belum terjadi karera dikawatirkan dengannya turun suatu kewajiban atau suatu perintah yang harus(ketikan masa turunya wahyu), karena banyak bertanya akan menghantarkan kepada sulitnya permasalah dan banyaknya permasalahan yang akan membuka pintu Syubhat yang menghantarkan kepada banyak ikhtilaf dan menghantarkan kepada kecelakaan.

Faidah –Faidah dari hadist tersebut:

1.Wajibnya meninggalkan segala sesuatu yang dilarang apa bila larangan tersebut ditekankan, karena tidak ada kesulitan untuk meninggalkanya, dan karan larangan tersebut bersifat umum.

2.mengerjakan suatu perintah terkadang ada suatu kesulitan , oleh karena itu pertanya tersebut sesuai dengan kemampuan.

3 Hendaknya menyibukan diri dengan sesuatu yang penting dan diperlukan secara mendesak pada saat itu juga, daripada menyibukan dengan sesuatu yang belum diperlukan.

4.hendaknya seorang muslim mencari apa yang dikabarkan dari Allah dan RasulNya kemudian bersungguh untuk memahaminya, dan tunduk mengikutinya sesuai dengan apa yang maksud oleh Allah, kemudian menyibukan diri beramal dengan hal tersebut, maka apabila itu termasuk perkara-perkara ilmiah maka benarkanlah dan yakinilah hakikatnya, dan apabila hal tersebut termasuk amaliyah maka keluarkanlah segala kemampuan untuk merealisasikanya (mengamalkannya).

*kalalah adalah apabila mayit meninggalkan harta warisan namun dia tidak mempunyai anak maupun bapak dan dia memiliki sudara dari bapa dan dari ibu. lihat tafsir Katsir 1/789, tentang tafsir surat An-Nisa ayat176, juga lihat Kitab al mawarist oleh Muhammad Ali Ash-Shobuni pada pembahasan tentang Kalalah.

Sumber:
1.Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hanbali, jilid 1/hal,238-244.
2.Syarh Riyadhlush-Shalihin min kalami sayidil Mursalin, oleh Muhamamad bin Shalih al ‘Utsaimin, Babul Amru bil Muhafazhah 'Alas-sunnah wa Adabiha,Jilid 1/415-417.
3.Bahjatun Naadzhirin Syarh Riyadhus-Shalihin, oleh Salim bin ‘Ied al Hilaly. Jilid,1/236-237.

Disusun oleh:Galih Abu Jabal As-sundawy As-Sunny

Diposting Dari alsofwah.or.id
Aqidah :
Islam, Iman Dan Ihsan
oleh : Izzudin Karimi



Islam berasal dari kata aslama yang berarti masuk ke dalam kedamaian, berserah diri kepada Allah dan masuk ke dalam agama Islam. Secara istilah Islam berarti berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkannya dan tunduk kepadaNya dengan mengikuti ajaran rasulNya Muhammad saw.

Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam.” (Ali Imram: 19).

Nabi saw menafsirkan Islam dengan amalan-amalan lahir yang tercantum dalam rukun Islam yang lima seperti dalam hadits Jibril.

Iman artinya membenarkan. Secara syar'i adalah keyakinan dalam hati, ikrar dengan lisan dan pembuktian dengan anggota badan.

Nabi saw menafsirkan Islam dengan amalan-amalan batin yang tercantum dalam rukun iman yang enam seperti dalam hadits Jibril.

Ihsan adalah berbuat kebaikan baik kepada orang lain maupun kepada diri dengan memperbaiki perbuatan.

Nabi saw telah menjelaskannya,

Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihatmu.”

Agama Islam meliputi tiga tingkatan tersebut berdasarkan pertanyaan Jibril kepada Nabi saw di hadapan para sahabat dan Nabi saw menjawabnya. Setelah Jibril berlalu Nabi saw bersabda, “]i]Itu adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan agama kalian.”

Keumuman dan kekhususan di antara ketiganya

Islam dan iman, jika keduanya disebut secara terpisah maka yang lain termasuk ke dalamnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Perbedaannya terjadi jika keduanya disebut secara bersamaan. Islam untuk amalan-amalan lahir dan iman untuk amalan-amalan batin seperti dalam hadits Jibril.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan sisi keumuman dan kekhususan di antara ketiganya, “Ihsan lebih umum dari sisi dirinya sendiri namun ia lebih khusus dari sisi orang-orangnya daripada iman. Iman lebih umum dari sisi dirinya sendiri dan lebih khusus dari segi orang-orangnya daripada Islam. Ihsan mencakup iman, dan iman mencakup Islam. Para muhsinin lebih khusus daripada mukminin, dan para mukminin lebih khusus dari para muslimin.”

Dari sini maka para ulama muhaqqiq mengatakan bahwa setiap mukmin adalah muslim, karena sesungguhnya siapa yang telah mewujudkan iman maka secara otomatis akan melaksanakan amalan-amalan Islam. Namun tidak setiap muslim itu mukmin sebab bisa jadi imannya sangat lemah sehingga iman dalam bentuk yang sempurna tidak terwujud, walaupunn dia tetap menjalankan sebagian dari amalan-amalan Islam, dia muslim namun bukan mukmin dengan iman yang sempurna.

Allah Ta'ala berfirman, “Orang-orang Arab badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'Kami telah Islam.” (Al-Hujurat: 14).

Kesimpulannya, tingkatan agama adalah Islam, iman dan Ihsan. Urutan derajatnya, ihasan adalah yang tertinggi kemudian iman kemudian Islam. Wallahu a'lam.

Diposting Dari alsofwah.or.id

Pengertian Aqidah

Oleh: Farid Achmad Okbah

Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Pada keyakinan manusia adalah
suatu keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan.

Aqidah menurut terminologi syara' (agama) yaitu keimanan kepada
Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Akherat, dan keimanan
kepada takdir Allah baik dan buruknya. Ini disebut Rukun Iman.
Dalam syariat Islam terdiri dua pokok utama.

Pertama: Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara
perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas.

Kedua: Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut
sebagai cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya atau diterima atau tidaknya
bergantung yang pertama.

Makanya syarat diterimanya ibadah itu ada dua,

Pertama: Ikhlas karena Allah SWT yaitu berdasarkan aqidah islamiyah yang benar.

Kedua: Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Ini disebut amal sholeh. Ibadah yang memenuhi
satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk Rasulullah
SAW tertolak atau mengikuti Rasulullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor
manusia, umpamanya, maka amal tersebut tertolak. Sampai benar-benar memenuhi
dua kriteria itu. Inilah makna yang terkandung dalam Al-Qur'an surah Al-Kahfi
110 yang artinya: "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadah kepada Tuhannya."

Diposting Dari aldakwah.org

Bahaya Penyimpangan Pada Aqidah

Oleh: Farid Achmad Okbah

Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat
fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai
kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa
arah yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti.
Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya:

1. Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian
dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang
aqidah yang benar.

2. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah
yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan
menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk."

3. Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi
yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh
panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.

4. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang
sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau
dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan.

Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter antara
dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar
dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu
pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan
para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya: "Dan jangan pula sekali-kali
kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan
Nasr."

5. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajaran Islam disebabkan silau terhadap
peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir
dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima
tingkah laku dan kebudayaan mereka.

6. Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga
anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan
yang artinya: "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua
orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya"
(HR: Bukhari).

Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan
dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan
lain sebagainya.

7. Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan
seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran
agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak
maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya
secara besar-besaran.

Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh
negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan
Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai
kehendak Sang Khalik demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman
dalam Surah An-Nisa' 69 yang artinya:

"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka
itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."

Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang artinya: "Barangsiapa
yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan."

Diposting Dari aldakwah.org